TUGAS MID SEMESTER ILMU POLITIK
KEKUASAAN DAN PATERNALISTIK
Dosen : Ibu Oktiva Anggraini, SIP, M.Si
Oleh :
Hernawan Nurhadi
NIM : 141312255
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA
UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah
SWT, Tuhan
yang maha kuasa, atas berkat dan penyertaannya sehingga
saya diberikan kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini bertema “Sistem
Paternalistik dan Kekuasaan”
saya susun dengan tujuan untuk memenuhi UAS mata kuliah Pengantar Ilmu Politik sebagai
syarat ujian.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu yang mengampu mata kuliah dalam hal ini Ibu
Oktiva Anggraini, SIP, M.Si yang
telah banyak membimbing dan memberikan tugas yang mulia ini sebagai syarat
Ujian Akhir Semester.
Begitu juga saya mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah banyak memberikan informasi sehingga saya dapat mudah
menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini
dapat memberikan banyak informasi, pengetahuan dan wawasan yang lebih luas
kepada kita semua.
Walaupun makalah menurut saya telah tersusun dengan baik,
namun saya merasa masih banyak kekurangan yang terdapat baik dari segi cara
menganalisa, mengkaji, memaparkan, maupun dari segi penyusunanya. Pepatah
mengatakan “ tak
ada gading yang tak retak” Oleh karena itu masukan yang bersifat membangun
seperti saran, kritik, sanggahan maupun yang lainya saya terima dengan senang
hati demi penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih..
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Yogyakarta, 15 Desember 2014
Penulis
Hernawan Nurhadi
NIM :141312255
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejarah
manusia bergerak secara siklus mengalami perulangan dengan terjadinya
modifikasi-modifikasi didalamnya namun motif tindakan manusia hampir sama dari
setiap masa, agak tepat jika perspektif tentang perkembangan masyarakat ini
dipakai untuk menjelaskan fenomena politik dan pemerintahan saat ini di
Indonesia. Dinasti politik masih tetap ada, dan bahkan semakin dipupuk dan
bersemai dalam ruang desentralisasi sekarang ini seperti yang terjadi di
beberapa daerah.
Praktik
nepotisme lazim dilakukan oleh para penguasa untuk melegitimasi dan
melestarikan kekuasaannya. Para penguasa lebih percaya pada ikatan keluarga
daripada kemampuan seorang politikus karier. Walaupun para kerabat tidak
memiliki pengalaman di bidang politik yang cukup, loyalitas menjadi alasan
utama penguasa memilih anggota keluarga untuk duduk dalam lingkaran kekuasaan.
Pada
sisi lain, anggota keluarga penguasa memanfaatkan peluang emas untuk duduk
dalam jabatan-jabatan strategis. Mereka lebih memilih jalan pintas untuk masuk
dalam lingkaran kekuasaan daripada berakarier dari bawah, menimba pengalaman,
dan mematangkan karakter sampai akhirnya pantas disebut politikus yang berpihak
kepada rakyat.
Fenomena
politik keluarga yang terjadi di pusat dapat terlihat pada keluarga Presiden
SBY yang mana menempatkan anaknya Edy Baskoro Yudhoyono sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrat
periode 2010-2015 dan ketua umum PDI. P Megawati Soekarno
Putri menempatkan anaknya Puan Maharani sebagai ketua fraksi PDI. P.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini membahas tentang :
1. Sistem Paternalisme
2. Sistem Kekuasaan
1.3
Tujuan Penulisan
Dengan tersusunnya makalah ini mahasiswa diharapkan mampu
memahami konsepsi sistem Paternalistik dan
Kekuasaan.
Penulisan
makalah ini juga untuk memenuhi tugas semester ganjil tahun akademik 2014/2015.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Paternalistik
Dilihat
dari asal katanya, paternalis artinya memiliki kesan kebapakan, sedangkam
paternalisme adalah sistem kepemimpinan yang menunjukkan hubungan kerja antara
atasan dan bawahan dilaksanakan seperti hubungan antara bapak dan anak. Maka,
kepemipinan paternalistik adalah pemimpin yang perannya diwarnai oleh sikap
kebapak-bapakan dalam arti bersifat melindungi, mengayomi dan menolong anggota
organisasi yang dipimpinnya. Tipe kepemimpinan ini
banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional,
umumnya di masyarakat yang agraris.
Kepemimpinan
paternalistik menurut Gultom (1994) dalam Mustikawati (1999:39) adalah atasan
berperan sebagai “bapak” yang lebih tahu akan segala hal, sehingga bawahan
merasa tidak enak jika menyampaikan usulan apalagi mengkritik kesalahan atasan.
Manajemen yang menerapkan budaya seperti ini akan mengurangi inisiatif bawahan
atau dengan kata lain akan menghambat adanya partisipasi. Secara umum diketahui
bahwa para manajer level menengah dan bawah di Indonesia banyak yang masih
merasa sungkan untuk mengungkapkan apa yang menjadi pikiran, gagasan, dan
ide-ide mereka kepada atasannya, meskipun para manajer tersebut tahu bahwa hal
itu lebih baik dari pada sekedar menuruti perintah atasan.
Lock
(2005:54) menjelaskan bahwa paternalism pernah terjadi pada sejarah pemerintah
jaman dahulu di Amerika dan Eropa. Webber (1958) dalam Lock (2005:64)
menyebutkan akar dari paternalisme adalah pada ideologi agama pada abad 19 dan
awal era industrialisasi.
Keraton
dan budayanya masih menjadi sentral kehidupan masyarakat, seperti terjadi di
jawa melalui keraton Yogyakarta dan Surakarta, penganutnya masih mengembangkan
nilai-nilai aristokratik yang sangat diagungkan oleh masyarakat. Masyarakat
strata bawah diluar keraton dianggap masih mengikuti norma budaya kasar.
Hubungan antar keduanya bersifat asimetris, paternalistic, dan personal. Dengan
menggunakan istilah yang dipakai Umar Kayam dan Koentjaraningrat, Geertz
mengelompokkan keduanya dengan sebutan “priyayi dan wong cilik”. Dalam konteks
masyarakat yang seperti ini birokrasi di Indonesia dikembangkan sehingga
membentuk hubungan paternalistic yang bersifat informal dan sangat pribadi.
Walupun
sejarah terbentuknya budaya birokrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya
mempunyai lingkungan dan kronologi yang berbeda-beda, adanya pengaruh budaya
tradisional kerajaan pada tiap-tiap daerah tersebut memiliki kesamaan,
yaitu diadopsinya sistem budaya keraton ke dalam sistem birokrasi pemerintahan.
Internalisasi nilai-nilai budaya keraton kedalam birokrasi tersebut memunculkan
watak birokrasi yang cenderung menempatkan dirinya merasa lebih tinggi daripada
masyarakat kebanyakan. Pada masyarakat jawa misalnya, orang jawa mudah terkesan
oleh status kebangsawanan, keterpelajaran, dan kekayaan. Orang berketurunan
ningrat, bergelar sarjana, dan berharta melimpah akan lebih dihormati di
masyarakat. Oleh karena itu, orang cenderung akan mengajar symbol status yang melekat
pada dirinya. Walaupun tidak dapat meraih semuanya, paling tidak diraih salah
satu diantara beberapa unsur tersebut agar mendapat penghormatan dari
masyarakat sekelilingnya. Birokrasi dipandang merupakan salah satu wahana
sosial yang dapat mengangkat simbol berupa prestise sosial yang tinggi di
masyarakat. Banyak masyarakat di jawa yang sampai saat ini masih
beranggapan bahwa menjadi pegawai negeri dapat mengangkat citra dan gengsi
mereka di masyarakat.
Demikian
pula halnya yang terjadi di Sulawesi Selatan, dalam struktur sosial Bugis ,
orang yang biasanya dihargai dan dianggap memiliki status yang tinggi adalah
mereka yang memiliki gelar bangsawan, seperangkat, memiliki jabatan dalam
pemerintahan, dan mempunyai tingkat sosial ekonomi yang tinggi. Setiap individu
berusaha mengekspresikan dirinya seperti apa yang dituntut oleh norma budaya
setempat yang berlaku. Salah satu upaya untuk memenuhi nilai-nilai tersebut
adalah dengan menjadi pegawai negeri. Lingkungan birokrasi dianggap merupakan
tempat seperangkat simbol-simbol budaya politik, seperti kekuasaan, kontrl,
penguasaan sumber daya, sampai dengan prestise keluarga maupun pribadi dengan
mudah dapat diekspresikan.
Budaya birokrasi
seperti ini memberikan peluang pada munculnya sikap dan perilaku paternalistik
yang merugikan kepentingan masyarakat secara luas.
Popularitas pemimpin
yang paternalistik di lingkungan yang demikian ini disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti :
(a) Kuatnya ikatan primordial, (b) Extended family
system, (c) Kehidupan masyarakat yang komunalistik, (d) Peranan adat istiadat
yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat, (e) Masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang
intim antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.
Pemimpin
merupakan tempat bertanya dan menjadi tumpuan harapan bagi pengikutnya dalam
menyelesaikan masalah-masalahnya. Persepsi seorang pemimpin yang paternalistik
yang peranannya dalam kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh
pengikutnya. Para bawahan biasanya mengharapkan seorang pemimpin yang
paternalistik mempunyai sifat yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan
memberikan perhatian terhadap kepentingan dan kesejahteraan para bawahannya.
Sehingga tidak jarang terjadi sebagai akibat dari adanya pandangan bahwa para
bawahan itu belum dewasa.
Corak
paternalistik birokrasi di Indonesia mencerminkan hubungan bapak dan anak.
Hubungan bapakisme ini lebih halus dibandingkan dengan hubungan patron klien.
Guna memperkuat gambaran ini Mulder (1985) menujukkan bahwa posisi seorang
bawahan dan atasan disamakan dengan posisi hubungan antara seorang anak dengan
bapaknya dalam konsepsi jawa. Seorang anak harus menghormati bapaknya, yang
secara praktis termanifestasi dalam perasaan sungkan dan berbahasa halus
(kromo) dalam berbicara dengan bapak. Hubungan orangtua dengan anak merupakan
hubungan superior dan inferior. Anak atau inferior harus menghormati (ngajeni)
orangtua atau yang superior. Anak yang melayani orangtua untuk mencari
perhatian dan orangtua harus dapat memberikan perhatikan atau sesuatu yang lain
yang dapat menunjukkan sebuah perhatian. Sistem hidup kekeluargaan di jawa
tergambar dalam hukum adatnya, dalam tata cara pergaulan antara sesama, dan
masih berpegang pada preferensi social, seperti umur, pangkat, jabatan atau
hal-hal yang dianggap menjadi ukuran status di dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Pola
hubungan paternalistik yang menunjuk pada hubungan patron klien agak sedikit
berbeda dengan pola hubungan bapakisme. Hubungan patron klien cenderung
menekankan pada hubungan yang bersifat nonmaterial. Pada konteks bapakisme,
hubungan yang terjalin meliputi aspek pemenuhan kebutuhan sosial, material,
spiritual, dan emosional. Anak buah {pegawai bawahan) yang memperoleh
perlindungan seperti ini, dengan segala loyalitasnya dan sukarela akan memenuhi
perintah sang bapak. Mereka merasa berutang budi kepada sang bapak sehingga
menimbulkan sikap hormat yang begitu tinggi dalam mendalam kepadanya. Bapak
adalah pemimpin yang memberikan pengayoman. Sebaliknya, anak diharapkan dapat
menjadi tulang punggung yang memberikan rasa hormat dan bahkan mungkin bersedia
untuk membela hidup serta kehormatan bapaknya.
Adapun sifat-sifat paternalistik
antara lain sebagai berikut :
(1) Mereka menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum
dewasa, atauanak sendiri yang perlu dikembangkan, (2) Mereka bersikap terlalu
melindungi, (3) Mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil
keputusan sendiri, (4) Mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada
bawahan untuk berinisiatif, (5) Mereka memberikan atau hampir tidak pernah
memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi
dan daya kreativitas mereka sendiri, (6) Selalu bersikap maha tahu dan maha
benar.
Harus diakui bahwa dalam keadaan
tertentu pemimpin seperti ini sangat dipopulerkan. Akan tetapi ditinjau dari
segi sifat-sifat negatifnya pemimpin paternalistis kurang menunjukkan elemen
kontinuitas terhadap organisasi yang dipimpinnya.
Ada
beberapa kelebihan serta kekurangan dari tipe kepemimpinan paternalistik diantaranya
adalah :
a. Kelebihan : (1) Pemimpin
dihormati oleh bawahannya, (2) Mengutamakan kebersamaan, (3) Pemimpin berperan
sebagai pelindung.
b. Kekurangan : (1)
Menganggap bawahan belum dewasa, (2) Bawahan tidak dimanfaatkan sebagai sumber
informasi, ide dan saran, (3) Bawahan selalu tergantung kepada pemimpin dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
2.2 Kekuasaan
Konsep
kekuasaan paling banyak digunakan didalam ilmu politik bahkan ada masyarakat awam
yang menganggap bahwa politik adalah kekuasaan. Menurut Max Weber Kekuasaan
adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan
sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemauan ini Miriam
Budiardjo. Serupa dengan apa yang dikatakan oleh Max Weber merujuk pada buku
klasik The Power Elite karya C. Wright Milss mengatakan bahwa kekuasaan adalah
kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendati orang lain menentang (Leo
Agustino).
Berdasarkan
dua definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan adalah
daulat atas diri sendiri untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh oleh orang
itu. Artinya kita memiliki kekuasaan manakala diri kita mampu untuk melakukan
apa yang dikehendaki walaupun ada pihak lain yang tidak menghendaki tindakan
yang sedang kita laksanakan bahkan menentang apa yang sedang kita lakukan.
Menurut
Harold D Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kekuasaan adalah sesuatu
hubungan di mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan
seseorang atau kelompok orang dapat
menentukan tindakan seseorang atau kelompok
lain agar sesuai dengan tujuan dari
pihak pertama. Definisi yang disampaikan oleh Laswell dan Kaplan sejalan dengan
yang dikemukakan Charles Andrain, bahwa kekuasaan adalah penggunaan sejumlah
sumberdaya (asset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan dalam Leo Agustino.
Kekuasaan
merupakan kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk
mempengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan
kehendak pihak yang mempengaruhi Ramlan Subekti.
Berdasarkan berbagai konsep dan
definisi yang dikemukakan di atas, maka kekuasaan lebih luas dari kemampuan
untuk menggerakan keinginan diri sendiri, tetapi jauh dari itu yakni kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain dengan memanfaatkan sumber-sumber kekuasaan yang
dimiliki oleh pemberi pengaruh.
Kekuasaan
(power) merupakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi
tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan
oleh seseorang atau kelompok guna
menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan,
kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau
kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau
kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Istilah
kekuasaan (power) berasal dari kata
yunani yang berarti sanggup untuk
membuat sesuatu, sanggup untuk mempengaruhi orang, sanggup membuat perubahan
dan tanpa kekuasaan sesuatu tidak akan terjadi.
Kekuasaan
juga diartikan sesuatu kapasitas yang dapat mendorong, memaksa, atau
mempengaruhi pihak lain untuk mengubah tingkah laku atau untuk mengerjakan apa
yang tidak dikehendaki. Bertolak dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa konsep kekuasaan sebenarnya menunjukkan kelebihan atau kemampuan pribadi
seseorang pemimpin yang tercermin dalam aspek khususnya di dalam interaksi
personal, sehingga
seseorang yang memiliki kekuasaan dapat merealisir keinginannya melalui orang
lain.
Menurut
Lasswell kekuasaan merupakan salah satu tipe dari pengaruh dimana seseorang
dapat memiliki power dan pengaruh jika
yang bersangkutan memiliki kemampuan
(ability), reputasi (reputation),
dan popularitas (popularity) yang dapat
meyakinkan orang lain untuk melakukan
sesuatu. Konsep ini lebih berkonotasi positif. Hal ini disebabkan oleh sumber
pengaruh tersebut biasanya berasal dari keahlian dan keteladanan. Berbeda
halnya dengan konsep paksaan (coercion) yang lebih berkonotasi negatif, karena
sumbernya cenderung pada kedudukan resmi atau karena memegang suatu jabatan.
Dari
sekian banyak pakar yang mempelajari jenis dan bentuk kekuasaan, pendapat
French dan Raven dapat diterima secara luas dan digunakan dalam berbagai
penelitian. Meskipun konsepnya tidak berasal dari suatu proses penelitian
lapangan tetapi telah mendorong sejumlah pakar untuk menggunakan konsep tersebut
dalam berbagai penelitian. Terdapat dua sumber kekuasaan yaitu, kekuasaan
jabatan dan kekuasaan pribadi. Kekuasaan jabatan adalah kekuasaan yang terdapat
pada seseorang karena memegang jabatan dalam organisasi sehingga orang tersebut
harus dipatuhi dan diikuti kehendaknya. Kekuasaan jabatan mencakup kekuasaan
resmi, kekuasaan paksaan, kekuasaan imbalan, dan kekuasaan informasi. Sedangkan
kekuasaan pribadi adalah kekuasaan yang terdapat pada seseorang karena pribadinya
mencerminkan hal-hal yang dikagumi oleh pengikutnya. Kekuasaan pribadi mencakup
kekuasaan keahlian, kekuasaan keteladanan, dan kekuasaan koneksi.
Politik
kekuasaan merupakan suatu strategi dalam memperoleh/mendapatkan kekuasaan serta
usaha untuk mempertahankan kekuasaan yang telah dimiliki. Strategi mempertahankan
dan melestarikan sebuah kekuasaan mengandaikan penggunaan kekerasan. Pertautan
keduanya (kekuasaan dan kekerasan) seringkali terwujud dalam bentuk yang
plural. Ada yang mengabsahkan pemakaian
segala cara, meskipun buruk yang penting kekuasaan tetap terjaga (pemikiran
Machiavelli). Akan tetapi, praktik dominasi kekuasaan tidak semata-mata
diadakan melalui kekerasan fisik. Antonio Gramsci menyatakan bahwa kekuasaan
dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang dimaksud oleh
Gramsci ialah peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan
ide-ide dominan. Dengan begitu, relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak
kentara dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja
secara halus melalui representasi simbol-simbol. Seperti yang dikatakan oleh
Bourdieu, sistem simbol menandai praktik dominasi baru dalam masyarakat pasca
industri. Dari Bourdieu, kita belajar mengeja isyarat untuk kemudian menguak
modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik
bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme
sosial untuk mereproduksi kekuasaan.
Sistem
simbol memiliki kekuatan untuk memberikan pemaknaan bagi realitas sosial. Lewat
proses pencitraan, sistem simbol memperoleh daya abstraknya guna mengubah
makna, menggiring cara pandang, hingga mempengaruhi praktik seseorang maupun
kelompok. Simbol memiliki kekuatan untuk membentuk, melestarikan dan mengubah realitas. Kekuatan simbol ini
mengandung energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui, serta tunduk
atas kebenaran yang diciptakan oleh tata simbol. Kekuatan simbol mampu
menggiring siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah persepsi hingga
tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya magis simbol tidak
hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi realitas
juga dipresentasikan lewat penggunaan logika simbol.
Dalam
mengapresiasi bentuk-bentuk simbol,
individu-individu dalam proses pembentukan (constituting) dan pembentukan
kembali (reconstituting) makna yang sedang berlangsung. Bourdieu menjelaskan
logika dan praktik permainan sosial yang dipadati semangat kompetisi antar
pelaku sosial. Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar kuasa yang
dijalankan pelaku sosial dalam berbagai posisi yang mereka tempati.
Charles F. Andrain
mendefinisikan kekuasaan sebagai penggunaan sejumlah sumber daya (aset, kemampuan)
untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang lain. Andrain,
sumber daya kekuasaan itu terdiri atas sumber daya fisik, ekonomi, keahlian, normative
dan personal. Dengan sumber-sumber daya itu membuat orang atau kelompok dapat mempengaruhi
orang ataunkelompok lain.
Sumber
dan basis kekuasaan menurut catatan Wirawan para ahli, sumber kekuasaan berupa
(1) Posisi, (2) Sifat Personal, (3) Keahlihan , (4) Peluang untuk mengontrol
informasi. Sedangkan ahli lain membaginya dalam lima hal, yaitu (1) Legitimasi
: otoritas, peraturan, undang-undang, (2) Kontrol atas sumber keuangan dan
informasi, (3) Keahlian : kritikalitas, (4) Hubungan sosial : kontak, pertemanan,
kekuasaan dalam angka, (5) Karakteristik personal, seperti kharismatik menarik.
Dari sumber ini, kemudian muncul istilah seperti kekuasaan posisional,
kekuasaan personal, kekuasaan keahlian, dan kekuasaan peluang.
Kekuasaan
sesungguhnya netral, namun bias dipakai untuk kebaikan dan kesejahteraan atau
sebaliknya disalahgunakan atau diselewengkan untuk kepentingan si pengenggam
kekuasaan. Menurut Wirawan , kekuasaan memiliki beberapa karakteristik, yakni
pertama, kekuasaan merupakan suatu yang abstrak. Kedua, Kekuasaan milik
interaksi sosial, bukan milik individu. Ketiga, pemegang kekuasaan yang egois
cenderung menyalahgunakannya.
Kekuasaan politik merupakan bagian
dari kekuasaan sosial.
Ciri-ciri kekuasaa politik :
(1) Fokusnya pada Negara, (2)Paling
otoritatif, dan (3) Memiliki daya perekat yang paling luas karena nilai yang
lain harus mengikutinya.
Dimensi-dimensi
kekuasaan, antaralain :
(1) Potensial dan actual, (2) Konsensus dan paksaan, (3) Positif
dan negatif, (4) Jabatan dan pribadi,
(5) Implisit dan eksplisit
Pelaksanaan kekuasaan
politik, yaitu :
(1) Bentuk dan jumlah sumber; sarana
fisik (senjata, penjara, kerja paksa, jabatan, keahlian, dan sebagainya), (2)
Distribusi sumber dalam masyarakat (3) Penggunaan sumber-sumber, (4) Hasil penggunaan
sumber-sumber.
Distribusi kekuasaan
politik :
(1) Model elit yang memerintah, (2) Model Pluralis, serta (3) Model
kerakyatan.
Sebagai
contoh para pemimpin yang berkuasa terlama di dunia, adalah :
*Fidel Castro (Kuba)
dilantik menjadi presiden Kuba pada tanggal 16 febuari tahun 1959 sampai dengan
24 febuari 2008 (49tahun, 8hari).
Kesehatan Castro sempat menurun setelah jatuh ketika berpidato pada
2004. Waktu itu, lutut kiri dan lengan kanannya terluka. Setelah pembedahan
organ pencernaan pada tahun 2006, dia menyerahkan kekuasaan hari kepada
saudara, Raul. Dia kemudian hanya beberapa kali muncul dalam rekaman sebelum
menyatakan diri mundur pada tahun 2008. Pada 19 Februari 2008, lima hari
sebelum mandatnya berakhir, Castro menyatakan tidak akan mencalonkan diri
maupun menerima masa bakti baru sebagai presiden atau komandan angkatan
bersenjata Kuba. Jabatannya digantikan oleh adiknya, Raul Castro.
*Jenderal Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (Indonesia) 12 maret - 1967 -21 mei 1998 (31 tahun, 70 hari) adalah Presiden Indonesia yang kedua menggantikan presiden Soekarno. Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa. Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie. Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 milyar sampai $AS 35 milyar. Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
*Jenderal Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (Indonesia) 12 maret - 1967 -21 mei 1998 (31 tahun, 70 hari) adalah Presiden Indonesia yang kedua menggantikan presiden Soekarno. Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa. Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie. Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 milyar sampai $AS 35 milyar. Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Secara
kultural, penyeragaman struktur masyarakat desa mengacu pada budaya jawa yang patriarkhis,
otokratis dan aristokratis, yang ditingkat tertentu anti demokrasi. Parsudi
Suparlan (1977) meragukan politik masyarakat pedesaan jawa bercorak demokratis,
karena pengaruh dari raja yang absolut masih sangat kuat. Selain itu ekspresi struktur
sosial di jawa menekankan perbedaan usia dan generasi, yang memberi legitimasi
bahwa yang tua lebih “benar” dan harus ditiru karena banyak pengalamannya.
Karenanya peran kepala desa menjadi seperti ayah bagi anak-anaknya (warga), yang
punya hak mengontrol dan anti kritik. Dengan demikian penyeragaman pola
pemerintahan desa identik dengan sosialisasi dan internalisasi budaya jawa yang
paternalistik, otokratik dan aristokratis. Sehingga secara sistemik dalam system
politik hanya akan dikenal gaya kepemimpinan monolitik jawa.
Menerapkan sebuah
konsep demokrasi di Indonesia sangatlah tidak mudah, karena banyak hal yang
kita perhatikan terutama dalam hal kebudayaan masyarakat Indonesia seperti
sistem budaya hirarki, paternalistik, dan komunalistik. Dan dalam sistem
demokrasi kita ada strukturalis, kulturalis, dan transisional.
Rakyat
seharusnya berdaulat. Rakyat seharusnya memerintah diri sendiri tanpa
menyerahkan kekuasaannya kepada siapapun.
Seorang pemimpin
kekuasaan tanpa adanya sebuah keberanian dalam menjalankan sebuah roda
perpolitikan maka itu hanyalah sebuah wacana.
Kekuasaan
didefenisikan sebagai kemampuan memperoleh sesuatu dengan cara yang diinginkan seseorang agar orang
lain melakukannya. French dan Raven memperkenalkan gagasan lima dasar kekuasaan
antar personal : legitimasi (dasar posisi), penghargaan, pemaksaan (dasar
hukuman), ahli dan referensi.
Dasar
struktural dan kekuasaan situasional juga terdapat. Suatu pengaturan struktur
organisasi menetapkan pola komunikasi dan aliran informasi yang memainkan peran
penting dalam pembentukan kekuasaan dan penggunaan.
3.2
SARAN
Penulis
merasa masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya setelah makalah ini dibaca
diharapkan agar dapat memberikan saran dan kritikan yang membangun untuk
kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
Penyusun menyarankan kepada pembaca agar
memberi tanggapan terhadap kekurangan dalam makalah ini sebagai acuan untuk
memperbaiki penyusunan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
https://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/02/bab-11-hukum-dan-kekuasaan.pdf
Diakses tanggal 14
Desember 2014.
http://datastatistikskripsi.files.wordpress.com/2014/03/skripsi-isi.pdf.
Diakses tanggal 14
Desember 2014.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=34&ved=0CDYQFjADOB4&url=http%3A%2F%2Fdosen.uta45jakarta.ac.id%2Fdownlot.php%3Ffile%3DTipe%2520dan%2520Gaya%2520Kepemimpinan%2520%2528%2520TM%25205-6%2529%2520.pdf&ei=RBCqVJyMO9aGuATBr4GQCQ&usg=AFQjCNGqp_fKfVowysuysqDGchPqVCz3ug&sig2=J_AfuTYyqCnB6tqfemsw8g
Diakses tanggal 15
Desember 2014.
Cholisin, M. Si dkk. 2006. Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta : FISE UNY.
Mahyudin, M. Alfan Alfian. 2009. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Thompson, F. Dennis. 1999. Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.