Minggu, 07 Juni 2015




TUGAS MID SEMESTER ILMU POLITIK

KEKUASAAN DAN PATERNALISTIK

Dosen : Ibu Oktiva Anggraini, SIP, M.Si








Oleh :

Hernawan Nurhadi
NIM : 141312255


JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA


TAHUN 2015








KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa, atas berkat dan penyertaannya sehingga saya diberikan kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini bertema  Sistem Paternalistik dan Kekuasaan saya susun dengan tujuan untuk memenuhi UAS mata kuliah Pengantar Ilmu Politik sebagai syarat ujian.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu yang mengampu mata kuliah dalam hal ini Ibu Oktiva Anggraini, SIP, M.Si yang telah banyak membimbing dan memberikan tugas yang mulia ini sebagai syarat Ujian Akhir Semester.
Begitu juga saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberikan informasi sehingga saya dapat mudah menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan banyak informasi, pengetahuan dan wawasan yang lebih luas kepada kita semua.
Walaupun makalah menurut saya telah tersusun dengan baik, namun saya merasa masih banyak kekurangan yang terdapat baik dari segi cara menganalisa, mengkaji, memaparkan, maupun dari segi penyusunanya. Pepatah mengatakan “ tak ada gading yang tak retak” Oleh karena itu masukan yang bersifat membangun seperti saran, kritik, sanggahan maupun yang lainya saya terima dengan senang hati demi penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih..
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Yogyakarta, 15 Desember 2014
Penulis


Hernawan Nurhadi 
 NIM :141312255




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Sejarah manusia bergerak secara siklus mengalami perulangan dengan terjadinya modifikasi-modifikasi didalamnya namun motif tindakan manusia hampir sama dari setiap masa, agak tepat jika perspektif tentang perkembangan masyarakat ini dipakai untuk menjelaskan fenomena politik dan pemerintahan saat ini di Indonesia. Dinasti politik masih tetap ada, dan bahkan semakin dipupuk dan bersemai dalam ruang desentralisasi sekarang ini seperti yang terjadi di beberapa daerah.
Praktik nepotisme lazim dilakukan oleh para penguasa untuk melegitimasi dan melestarikan kekuasaannya. Para penguasa lebih percaya pada ikatan keluarga daripada kemampuan seorang politikus karier. Walaupun para kerabat tidak memiliki pengalaman di bidang politik yang cukup, loyalitas menjadi alasan utama penguasa memilih anggota keluarga untuk duduk dalam lingkaran kekuasaan.
Pada sisi lain, anggota keluarga penguasa memanfaatkan peluang emas untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis. Mereka lebih memilih jalan pintas untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan daripada berakarier dari bawah, menimba pengalaman, dan mematangkan karakter sampai akhirnya pantas disebut politikus yang berpihak kepada rakyat.
Fenomena politik keluarga yang terjadi di pusat dapat terlihat pada keluarga Presiden SBY yang mana menempatkan anaknya Edy Baskoro Yudhoyono sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrat periode 2010-2015 dan ketua umum PDI. P Megawati Soekarno Putri menempatkan anaknya Puan Maharani sebagai ketua fraksi PDI. P.
1.2  Rumusan Masalah
Makalah ini membahas tentang :
1. Sistem Paternalisme
2. Sistem Kekuasaan
1.3 Tujuan Penulisan
Dengan tersusunnya makalah ini mahasiswa diharapkan mampu memahami konsepsi sistem Paternalistik  dan Kekuasaan.
Penulisan makalah ini juga untuk memenuhi tugas semester ganjil tahun akademik 2014/2015.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Paternalistik
Dilihat dari asal katanya, paternalis artinya memiliki kesan kebapakan, sedangkam paternalisme adalah sistem kepemimpinan yang menunjukkan hubungan kerja antara atasan dan bawahan dilaksanakan seperti hubungan antara bapak dan anak. Maka, kepemipinan paternalistik adalah pemimpin yang perannya diwarnai oleh sikap kebapak-bapakan dalam arti bersifat melindungi, mengayomi dan menolong anggota organisasi yang dipimpinnya.                     Tipe kepemimpinan ini banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat yang agraris.
Kepemimpinan paternalistik menurut Gultom (1994) dalam Mustikawati (1999:39) adalah atasan berperan sebagai “bapak” yang lebih tahu akan segala hal, sehingga bawahan merasa tidak enak jika menyampaikan usulan apalagi mengkritik kesalahan atasan. Manajemen yang menerapkan budaya seperti ini akan mengurangi inisiatif bawahan atau dengan kata lain akan menghambat adanya partisipasi. Secara umum diketahui bahwa para manajer level menengah dan bawah di Indonesia banyak yang masih merasa sungkan untuk mengungkapkan apa yang menjadi pikiran, gagasan, dan ide-ide mereka kepada atasannya, meskipun para manajer tersebut tahu bahwa hal itu lebih baik dari pada sekedar menuruti perintah atasan.
Lock (2005:54) menjelaskan bahwa paternalism pernah terjadi pada sejarah pemerintah jaman dahulu di Amerika dan Eropa. Webber (1958) dalam Lock (2005:64) menyebutkan akar dari paternalisme adalah pada ideologi agama pada abad 19 dan awal era industrialisasi.
Keraton dan budayanya masih menjadi sentral kehidupan masyarakat, seperti terjadi di jawa melalui keraton Yogyakarta dan Surakarta, penganutnya masih mengembangkan nilai-nilai aristokratik yang sangat diagungkan oleh masyarakat. Masyarakat strata bawah diluar keraton dianggap masih mengikuti norma budaya kasar. Hubungan antar keduanya bersifat asimetris, paternalistic, dan personal. Dengan menggunakan istilah yang dipakai Umar Kayam dan Koentjaraningrat, Geertz mengelompokkan keduanya dengan sebutan “priyayi dan wong cilik”. Dalam konteks masyarakat yang seperti ini birokrasi di Indonesia dikembangkan sehingga membentuk hubungan paternalistic yang bersifat informal dan sangat pribadi.
Walupun sejarah terbentuknya budaya birokrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai lingkungan dan kronologi yang berbeda-beda, adanya pengaruh budaya tradisional kerajaan pada tiap-tiap  daerah tersebut memiliki kesamaan, yaitu diadopsinya sistem budaya keraton ke dalam sistem birokrasi pemerintahan. Internalisasi nilai-nilai budaya keraton kedalam birokrasi tersebut memunculkan watak birokrasi yang cenderung menempatkan dirinya merasa lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Pada masyarakat jawa misalnya, orang jawa mudah terkesan oleh status kebangsawanan, keterpelajaran, dan kekayaan. Orang berketurunan ningrat, bergelar sarjana, dan berharta melimpah akan lebih dihormati di masyarakat. Oleh karena itu, orang cenderung akan mengajar symbol status yang melekat pada dirinya. Walaupun tidak dapat meraih semuanya, paling tidak diraih salah satu diantara beberapa unsur tersebut agar mendapat penghormatan dari masyarakat sekelilingnya. Birokrasi dipandang merupakan salah satu wahana sosial yang dapat mengangkat simbol berupa prestise sosial yang tinggi di masyarakat. Banyak masyarakat di jawa yang sampai saat ini masih  beranggapan bahwa menjadi pegawai negeri dapat mengangkat citra dan gengsi mereka di masyarakat.
Demikian pula halnya yang terjadi di Sulawesi Selatan, dalam struktur sosial Bugis , orang yang biasanya dihargai dan dianggap memiliki status yang tinggi adalah mereka yang memiliki gelar bangsawan, seperangkat, memiliki  jabatan dalam pemerintahan, dan mempunyai tingkat sosial ekonomi yang tinggi. Setiap individu berusaha mengekspresikan dirinya seperti apa yang dituntut oleh norma budaya setempat yang berlaku. Salah satu upaya untuk memenuhi nilai-nilai tersebut adalah dengan menjadi pegawai negeri. Lingkungan birokrasi dianggap merupakan tempat seperangkat simbol-simbol budaya politik, seperti kekuasaan, kontrl, penguasaan sumber daya, sampai dengan prestise keluarga maupun pribadi dengan mudah dapat diekspresikan.
Budaya birokrasi seperti ini memberikan peluang pada munculnya sikap dan perilaku paternalistik yang merugikan kepentingan masyarakat secara luas.
Popularitas pemimpin yang paternalistik di lingkungan yang demikian ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti :
(a) Kuatnya ikatan primordial, (b) Extended family system, (c) Kehidupan masyarakat yang komunalistik, (d) Peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat, (e)  Masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang intim antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.
Pemimpin merupakan tempat bertanya dan menjadi tumpuan harapan bagi pengikutnya dalam menyelesaikan masalah-masalahnya. Persepsi seorang pemimpin yang paternalistik yang peranannya dalam kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh pengikutnya. Para bawahan biasanya mengharapkan seorang pemimpin yang paternalistik mempunyai sifat yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan memberikan perhatian terhadap kepentingan dan kesejahteraan para bawahannya. Sehingga tidak jarang terjadi sebagai akibat dari adanya pandangan bahwa para bawahan itu belum dewasa.
Corak paternalistik birokrasi di Indonesia mencerminkan hubungan bapak dan anak. Hubungan bapakisme ini lebih halus dibandingkan dengan hubungan patron klien. Guna memperkuat gambaran ini Mulder (1985) menujukkan bahwa posisi seorang bawahan dan atasan disamakan dengan posisi hubungan antara seorang anak dengan bapaknya dalam konsepsi jawa. Seorang anak harus menghormati bapaknya, yang secara praktis termanifestasi dalam perasaan sungkan dan berbahasa halus (kromo) dalam berbicara dengan bapak. Hubungan orangtua dengan anak merupakan hubungan superior dan inferior. Anak atau inferior harus menghormati (ngajeni) orangtua atau yang superior. Anak yang melayani orangtua untuk mencari perhatian dan orangtua harus dapat memberikan perhatikan atau sesuatu yang lain yang dapat menunjukkan sebuah perhatian. Sistem hidup kekeluargaan di jawa tergambar dalam hukum adatnya, dalam tata cara pergaulan antara sesama, dan masih berpegang pada preferensi social, seperti umur, pangkat, jabatan atau hal-hal yang dianggap menjadi ukuran status di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pola hubungan paternalistik yang menunjuk pada hubungan patron klien agak sedikit berbeda dengan pola hubungan bapakisme. Hubungan patron klien cenderung menekankan pada hubungan yang bersifat nonmaterial. Pada konteks bapakisme, hubungan yang terjalin meliputi aspek pemenuhan kebutuhan sosial, material, spiritual, dan emosional. Anak buah {pegawai bawahan) yang memperoleh perlindungan seperti ini, dengan segala loyalitasnya dan sukarela akan memenuhi perintah sang bapak. Mereka merasa berutang budi kepada sang bapak sehingga menimbulkan sikap hormat yang begitu tinggi dalam mendalam kepadanya. Bapak adalah pemimpin yang memberikan pengayoman. Sebaliknya, anak diharapkan dapat menjadi tulang punggung yang memberikan rasa hormat dan bahkan mungkin bersedia untuk membela hidup serta kehormatan bapaknya.
Adapun sifat-sifat paternalistik antara lain sebagai berikut :
(1) Mereka menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atauanak sendiri yang perlu dikembangkan, (2) Mereka bersikap terlalu melindungi, (3) Mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri, (4) Mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif, (5) Mereka memberikan atau hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri, (6) Selalu bersikap maha tahu dan maha benar.
Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu pemimpin seperti ini sangat dipopulerkan. Akan tetapi ditinjau dari segi sifat-sifat negatifnya pemimpin paternalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap organisasi yang dipimpinnya.
Ada beberapa kelebihan serta kekurangan dari tipe kepemimpinan paternalistik diantaranya adalah :
a. Kelebihan : (1) Pemimpin dihormati oleh bawahannya, (2) Mengutamakan kebersamaan, (3) Pemimpin berperan sebagai pelindung.
b. Kekurangan : (1) Menganggap bawahan belum dewasa, (2) Bawahan tidak dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide dan saran, (3) Bawahan selalu tergantung kepada pemimpin dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
2.2 Kekuasaan
Konsep kekuasaan paling banyak digunakan didalam ilmu politik bahkan ada masyarakat awam yang menganggap bahwa politik adalah kekuasaan. Menurut Max Weber Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemauan ini Miriam Budiardjo. Serupa dengan apa yang dikatakan oleh Max Weber merujuk pada buku klasik The Power Elite karya C. Wright Milss mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendati orang lain menentang (Leo Agustino).
Berdasarkan dua definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan adalah daulat atas diri sendiri untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh oleh orang itu. Artinya kita memiliki kekuasaan manakala diri kita mampu untuk melakukan apa yang dikehendaki walaupun ada pihak lain yang tidak menghendaki tindakan yang sedang kita laksanakan bahkan menentang apa yang sedang kita lakukan.
Menurut Harold D Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kekuasaan adalah sesuatu hubungan di mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan
seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok
lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama. Definisi yang disampaikan oleh Laswell dan Kaplan sejalan dengan yang dikemukakan Charles Andrain, bahwa kekuasaan adalah penggunaan sejumlah sumberdaya (asset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan dalam Leo Agustino.
Kekuasaan merupakan kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi Ramlan Subekti.
Berdasarkan berbagai konsep dan definisi yang dikemukakan di atas, maka kekuasaan lebih luas dari kemampuan untuk menggerakan keinginan diri sendiri, tetapi jauh dari itu yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan memanfaatkan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh pemberi pengaruh.
Kekuasaan (power) merupakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Dalam sumber lain dikatakan bahwa kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna  menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Istilah kekuasaan  (power) berasal dari kata yunani yang  berarti sanggup untuk membuat sesuatu, sanggup untuk mempengaruhi orang, sanggup membuat perubahan dan tanpa kekuasaan sesuatu tidak akan terjadi.
Kekuasaan juga diartikan sesuatu kapasitas yang dapat mendorong, memaksa, atau mempengaruhi pihak lain untuk mengubah tingkah laku atau untuk mengerjakan apa yang tidak dikehendaki. Bertolak dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konsep kekuasaan sebenarnya menunjukkan kelebihan atau kemampuan pribadi seseorang pemimpin yang tercermin dalam aspek khususnya di dalam interaksi
personal, sehingga seseorang yang memiliki kekuasaan dapat merealisir keinginannya melalui orang lain.
Menurut Lasswell kekuasaan merupakan salah satu tipe dari pengaruh dimana seseorang dapat memiliki  power dan pengaruh jika yang bersangkutan memiliki kemampuan  (ability), reputasi  (reputation), dan popularitas  (popularity) yang dapat meyakinkan orang lain untuk  melakukan sesuatu. Konsep ini lebih berkonotasi positif. Hal ini disebabkan oleh sumber pengaruh tersebut biasanya berasal dari keahlian dan keteladanan. Berbeda halnya dengan konsep paksaan (coercion) yang lebih berkonotasi negatif, karena sumbernya cenderung pada kedudukan resmi atau karena memegang suatu jabatan.
Dari sekian banyak pakar yang mempelajari jenis dan bentuk kekuasaan, pendapat French dan Raven dapat diterima secara luas dan digunakan dalam berbagai penelitian. Meskipun konsepnya tidak berasal dari suatu proses penelitian lapangan tetapi telah mendorong sejumlah pakar untuk menggunakan konsep tersebut dalam berbagai penelitian. Terdapat dua sumber kekuasaan yaitu, kekuasaan jabatan dan kekuasaan pribadi. Kekuasaan jabatan adalah kekuasaan yang terdapat pada seseorang karena memegang jabatan dalam organisasi sehingga orang tersebut harus dipatuhi dan diikuti kehendaknya. Kekuasaan jabatan mencakup kekuasaan resmi, kekuasaan paksaan, kekuasaan imbalan, dan kekuasaan informasi. Sedangkan kekuasaan pribadi adalah kekuasaan yang terdapat pada seseorang karena pribadinya mencerminkan hal-hal yang dikagumi oleh pengikutnya. Kekuasaan pribadi mencakup kekuasaan keahlian, kekuasaan keteladanan, dan kekuasaan koneksi.
Politik kekuasaan merupakan suatu strategi dalam memperoleh/mendapatkan kekuasaan serta usaha untuk mempertahankan kekuasaan yang telah dimiliki. Strategi mempertahankan dan melestarikan sebuah kekuasaan mengandaikan penggunaan kekerasan. Pertautan keduanya (kekuasaan dan kekerasan) seringkali terwujud dalam bentuk yang plural. Ada  yang mengabsahkan pemakaian segala cara, meskipun buruk yang penting kekuasaan tetap terjaga (pemikiran Machiavelli). Akan tetapi, praktik dominasi kekuasaan tidak semata-mata diadakan melalui kekerasan fisik. Antonio Gramsci menyatakan bahwa kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang dimaksud oleh Gramsci ialah peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Dengan begitu, relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol. Seperti yang dikatakan oleh Bourdieu, sistem simbol menandai praktik dominasi baru dalam masyarakat pasca industri. Dari Bourdieu, kita belajar mengeja isyarat untuk kemudian menguak modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.
Sistem simbol memiliki kekuatan untuk memberikan pemaknaan bagi realitas sosial. Lewat proses pencitraan, sistem simbol memperoleh daya abstraknya guna mengubah makna, menggiring cara pandang, hingga mempengaruhi praktik seseorang maupun kelompok. Simbol memiliki kekuatan untuk membentuk, melestarikan dan  mengubah realitas. Kekuatan simbol ini mengandung energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata simbol. Kekuatan simbol mampu menggiring siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah persepsi hingga tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan logika simbol.
Dalam mengapresiasi bentuk-bentuk  simbol, individu-individu dalam proses pembentukan (constituting) dan pembentukan kembali (reconstituting) makna yang sedang berlangsung. Bourdieu menjelaskan logika dan praktik permainan sosial yang dipadati semangat kompetisi antar pelaku sosial. Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar kuasa yang dijalankan pelaku sosial dalam berbagai posisi yang mereka tempati.
Charles F. Andrain mendefinisikan kekuasaan sebagai penggunaan sejumlah sumber daya (aset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang lain. Andrain, sumber daya kekuasaan itu terdiri atas sumber daya fisik, ekonomi, keahlian, normative dan personal. Dengan sumber-sumber daya itu membuat orang atau kelompok dapat mempengaruhi orang ataunkelompok lain.
Sumber dan basis kekuasaan menurut catatan Wirawan para ahli, sumber kekuasaan berupa (1) Posisi, (2) Sifat Personal, (3) Keahlihan , (4) Peluang untuk mengontrol informasi. Sedangkan ahli lain membaginya dalam lima hal, yaitu (1) Legitimasi : otoritas, peraturan, undang-undang, (2) Kontrol atas sumber keuangan dan informasi, (3) Keahlian : kritikalitas, (4) Hubungan sosial : kontak, pertemanan, kekuasaan dalam angka, (5) Karakteristik personal, seperti kharismatik menarik. Dari sumber ini, kemudian muncul istilah seperti kekuasaan posisional, kekuasaan personal, kekuasaan keahlian, dan kekuasaan peluang.
Kekuasaan sesungguhnya netral, namun bias dipakai untuk kebaikan dan kesejahteraan atau sebaliknya disalahgunakan atau diselewengkan untuk kepentingan si pengenggam kekuasaan. Menurut Wirawan , kekuasaan memiliki beberapa karakteristik, yakni pertama, kekuasaan merupakan suatu yang abstrak. Kedua, Kekuasaan milik interaksi sosial, bukan milik individu. Ketiga, pemegang kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunakannya.
Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial.
Ciri-ciri kekuasaa politik :
(1) Fokusnya pada Negara, (2)Paling otoritatif, dan (3) Memiliki daya perekat yang paling luas karena nilai yang lain harus mengikutinya.
Dimensi-dimensi kekuasaan, antaralain :
(1) Potensial dan actual, (2) Konsensus dan paksaan, (3) Positif dan negatif, (4)  Jabatan dan pribadi, (5) Implisit dan eksplisit
Pelaksanaan kekuasaan politik, yaitu :
(1) Bentuk dan jumlah sumber; sarana fisik (senjata, penjara, kerja paksa, jabatan, keahlian, dan sebagainya), (2) Distribusi sumber dalam masyarakat (3) Penggunaan sumber-sumber, (4) Hasil penggunaan sumber-sumber.
Distribusi kekuasaan politik :
(1) Model elit yang memerintah,  (2) Model Pluralis, serta (3) Model kerakyatan.
Sebagai contoh para pemimpin yang berkuasa terlama di dunia, adalah :
*Fidel Castro (Kuba) dilantik menjadi presiden Kuba pada tanggal 16 febuari tahun 1959 sampai dengan 24 febuari 2008 (49tahun, 8hari).  Kesehatan Castro sempat menurun setelah jatuh ketika berpidato pada 2004. Waktu itu, lutut kiri dan lengan kanannya terluka. Setelah pembedahan organ pencernaan pada tahun 2006, dia menyerahkan kekuasaan hari kepada saudara, Raul. Dia kemudian hanya beberapa kali muncul dalam rekaman sebelum menyatakan diri mundur pada tahun 2008. Pada 19 Februari 2008, lima hari sebelum mandatnya berakhir, Castro menyatakan tidak akan mencalonkan diri maupun menerima masa bakti baru sebagai presiden atau komandan angkatan bersenjata Kuba. Jabatannya digantikan oleh adiknya, Raul Castro.
*Jenderal Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (Indonesia) 12 maret - 1967 -21 mei 1998 (31 tahun, 70 hari) adalah Presiden Indonesia yang kedua menggantikan presiden Soekarno. Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa. Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie. Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 milyar sampai $AS 35 milyar. Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.


BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Secara kultural, penyeragaman struktur masyarakat desa mengacu pada budaya jawa yang patriarkhis, otokratis dan aristokratis, yang ditingkat tertentu anti demokrasi. Parsudi Suparlan (1977) meragukan politik masyarakat pedesaan jawa bercorak demokratis, karena pengaruh dari raja yang absolut masih sangat kuat. Selain itu ekspresi struktur sosial di jawa menekankan perbedaan usia dan generasi, yang memberi legitimasi bahwa yang tua lebih “benar” dan harus ditiru karena banyak pengalamannya. Karenanya peran kepala desa menjadi seperti ayah bagi anak-anaknya (warga), yang punya hak mengontrol dan anti kritik. Dengan demikian penyeragaman pola pemerintahan desa identik dengan sosialisasi dan internalisasi budaya jawa yang paternalistik, otokratik dan aristokratis. Sehingga secara sistemik dalam system politik hanya akan dikenal gaya kepemimpinan monolitik jawa.
Menerapkan sebuah konsep demokrasi di Indonesia sangatlah tidak mudah, karena banyak hal yang kita perhatikan terutama dalam hal kebudayaan masyarakat Indonesia seperti sistem budaya hirarki, paternalistik, dan komunalistik. Dan dalam sistem demokrasi kita ada strukturalis, kulturalis, dan transisional.
Rakyat seharusnya berdaulat. Rakyat seharusnya memerintah diri sendiri tanpa menyerahkan kekuasaannya kepada siapapun.
Seorang pemimpin kekuasaan tanpa adanya sebuah keberanian dalam menjalankan sebuah roda perpolitikan maka itu hanyalah sebuah wacana.
Kekuasaan didefenisikan sebagai kemampuan memperoleh sesuatu dengan  cara yang diinginkan seseorang agar orang lain melakukannya. French dan Raven memperkenalkan gagasan lima dasar kekuasaan antar personal : legitimasi (dasar posisi), penghargaan, pemaksaan (dasar hukuman), ahli dan referensi.
Dasar struktural dan kekuasaan situasional juga terdapat. Suatu pengaturan struktur organisasi menetapkan pola komunikasi dan aliran informasi yang memainkan peran penting dalam pembentukan kekuasaan dan penggunaan.

3.2 SARAN
Penulis merasa masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan,  oleh karenanya setelah makalah ini dibaca diharapkan agar dapat memberikan saran dan kritikan yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
Penyusun menyarankan kepada pembaca agar memberi tanggapan terhadap kekurangan dalam makalah ini sebagai acuan untuk memperbaiki penyusunan makalah berikutnya.




DAFTAR PUSTAKA

https://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/02/bab-11-hukum-dan-kekuasaan.pdf
Diakses tanggal 14 Desember 2014.
http://datastatistikskripsi.files.wordpress.com/2014/03/skripsi-isi.pdf.
Diakses tanggal 14 Desember 2014.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=34&ved=0CDYQFjADOB4&url=http%3A%2F%2Fdosen.uta45jakarta.ac.id%2Fdownlot.php%3Ffile%3DTipe%2520dan%2520Gaya%2520Kepemimpinan%2520%2528%2520TM%25205-6%2529%2520.pdf&ei=RBCqVJyMO9aGuATBr4GQCQ&usg=AFQjCNGqp_fKfVowysuysqDGchPqVCz3ug&sig2=J_AfuTYyqCnB6tqfemsw8g
Diakses tanggal 15 Desember 2014.
Cholisin, M. Si dkk. 2006. Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta : FISE UNY.
Mahyudin, M. Alfan Alfian. 2009. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Thompson, F. Dennis. 1999. Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.